, ,

Nasib UU ITE Ada di Tangan Mahkamah Konstitusi

17 Februari 2009 Leave a Comment

" Mengatur Akhlak Dunia Maya "
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik kini berada di tangan Mahkamah Konstitusi. Tarik-menarik menyangkut keberadaan regulasi tersebut kembali menghangat.

Ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjelang akhir Maret 2008, semua pemangku kepentingan di sektor telematika menyambut gembira hadirnya regulasi tersebut.

Bagaimana tidak. Secara kuantitatif, Indonesia memang memiliki penetrasi Internet yang rendah, tetapi jangan anggap remeh kemampuan kejahatan elektronik di negeri ini. Nama Indonesia selalu berada di peringkat tiga besar jika berkaitan dengan kejahatan dunia maya.

Data yang pernah dikeluarkan salah satu perusahaan keamanan teknologi informasi dunia, VeriSign, dapat menjadi rujukan. Perusahaan tersebut mencatat negeri ini berada pada peringkat paling atas di dunia dalam hal persentase kejahatan penipuan perbankan di dunia. Sementara soal kuantitas, posisi Indonesia berada di urutan ketiga.

Dengan kehadiran UU ITE, masyarakat yang melakukan transaksi elektronik mendapat kepastian hukum dan perlindungan. “Ruhnya regulasi tersebut ingin melindungi transaksi elektronik, pengguna teknologi informasi, dan mencoba mengatur ‘akhlak’ para pelaku,” kata penggiat Internet Onno W Purbo kepada Koran Jakarta, Senin (16/2).

Jika ditelisik, regulasi yang dibahas sejak 2001 tersebut memang mengupas secara terperinci enam hal yang biasa terjadi di dunia maya. Keenam hal tersebut adalah masalah transaksi elektronik (17 pasal), nama domain dan hak cipta (3 pasal), urusan perbuatan tidak baik (10 pasal), urusan pemerintah, penyidik, dan sengketa (6 pasal), serta urusan pidana dan hukuman (7 pasal).

Namun, euforia dari UU ITE secara perlahan mulai sirna. Sebagian masyarakat balik mempertanyakan kehadiran UU yang tidak pernah unjuk gigi sejak disahkan.

Pasal yang dipertanyakan adalah Pasal 27 Ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan.”

Dan Pasal 45 Ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Tak tanggung-tanggung, sebagian masyarakat yang tidak senang dengan pasal tersebut pun melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, rumusan pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Rumusan pasal itu begitu umum. Kenapa yang bebas berekspresi tetapi hukumannya lebih berat dari Pasal 310 KUHP?” ujar pemohon uji materi UU ITE, Narliswandi Piliang, saat sidang di MK Januari lalu.

Terlalu Umum
Penggiat Internet dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Heru Nugroho mengakui UU ITE masih jauh dari ideal. Dia mencontohkan, di Malaysia, untuk mengatur kejahatan dunia maya itu ada enam regulasi, sementara di Indonesia hanya satu.

Satu-satunya regulasi yang ada, kata dia, banyak kekurangan karena isinya terlalu umum. Maka, ada pasal-pasal tertentu yang juga berbunyi terlalu umum. Misalnya, persoalan kebebasan menyebarkan informasi yang berujung pada uji materi oleh mereka yang menjunjung tinggi kebebasan menulis melalui media online.

“Karena klausul itu memang belum terlalu rinci mengurai soal kebebasan informasi yang sah atau tidak sah untuk ditulis. Akhirnya langsung menjadi kontraproduktif dengan karakter dasar di Internet yang pada dasarnya merupakan ajang melepaskan belenggu kebebasan berekspresi,” tutur Heru.

Onno menambahkan, pasal yang dimaksud tersebut memang tidak secara terperinci mengatur jika dikaitkan dengan masalah teknis. Misalnya, komputer pengguna terkena virus dan mengirimkan informasi atau menyebarkan virus. “Apa ini terkena pasal tidak menyenangkan juga? Wong, yang punya komputer juga tidak tahu,” katanya.

Pro-Kontra
Dengan segala argumentasi yang dilontarkan, sebagian kalangan pun menuntut UU ITE dibatalkan. Ini, misalnya, dinyatakan mantan Anggota Pokja Tim Draft UU ITE Rudi Rusdiah. Rudi menegaskan UU ITE harus dibatalkan karena dibahas terlalu singkat. Apalagi hingga saat ini, rancangan peraturan pemerintah (RPP) belum ada sehingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.

Rudi mengatakan Pasal 27 Ayat 3, jika disandingkan dengan Pasal 45, memang sangat menakutkan masyarakat informasi. Seharusnya ayat tersebut dibuat seperti UU Pers dengan mengatur hak jawab, tidak perlu mengatur hingga pencemaran nama baik, pers, atau pornografi karena masing-masing sudah ada UU-nya.

Di sisi lain, kebutuhan akan regulasi untuk menertibkan penggunaan Internet menjadi alasan bagi yang pro terhadap keberadaan UU ITE. Apalagi pembahasannya pun sudah dilakukan sejak 2001.

Seperti diungkapkan pengamat kejahatan dunia maya Heru Sutadi, membatalkan UU ITE adalah langkah mundur. Jika pun perlu diperbaiki, cukup meluruskan beberapa hal sesuai wewenang MK. “Jika pers jelas siapa penulis dan redaksinya, di blog dengan anonimous semua bisa dilakukan. Ini yang diatur oleh UU ITE,” katanya.

Dukungan lain pun datang dari Ketua Umum Asosiasi Warnet Indonesia (Awari) Iwin Day. Menurut dia, daripada dibatalkan, akan lebih baik kalangan yang tidak puas dengan UU ITE mengawal aturan tersebut melalui pembuatan rancangan peraturan pemerintah (RPP).

Langkah menuju arah itu sebenarnya sudah dilakukan. Pemerintah, melalui Juru Bicara Depkominfo Gatot S Dewo Broto, menyebutkan telah meyiapkan sembilan PP untuk mendukung UU ITE. Dimulai dengan tiga RPP yang telah disusun sejak Juni 2008.

Gatot pun meyakinkan bahwa UU ITE tidak akan menjadi macan kertas. Apalagi, selain didukung PP dan Permen, UU tersebut akan disirnergikan dengan berbagai pihak yang terkait dengan penegakan hukum.

Dikutip sepenuhnya dari: Koran Jakarta
(Selasa, 17 Februari 2009 00:51 WIB)

Category: Kliping Online

0 komentar »

Leave your response!

Mohon berikan komentar dikolom bawah ini